Minggu, 15 Januari 2012

CONFLICT OF INTEREST


Conflict of interest adalah sebuah konflik berkepentingan yang terjadi ketika sebuah individu atau organisasi yang terlibat dalam berbagai kepentingan, salah satu yang mungkin bisa merusak motivasi untuk bertindak dalam lainnya.
Sebuah konflik kepentingan hanya bisa ada jika seseorang atau kesaksian dipercayakan dengan ketidakberpihakan beberapa; jumlah sedikit kepercayaan diperlukan untuk menciptakannya. Adanya konflik kepentingan adalah independen dari pelaksanaan ketidakpantasan. Oleh karena itu, konflik kepentingan dapat ditemukan dan dijinakkan secara sukarela sebelum korupsi pun terjadi. Contoh beberapa pekerjaan dimana konflik kepentingan adalah kemungkinan besar yang harus dihadapi atau ditemukan meliputi: polisi , pengacara , hakim , adjuster asuransi , politikus , insinyur , eksekutif, direktur sebuah perusahaan , penelitian medis ilmuwan, dokter , penulis, dan editor.
Maka dari pada itu kita bisa mendefinisikan konflik kepentingan sebagai situasi di mana seseorang memiliki atau pribadi yang cukup kepentingan pribadi untuk muncul untuk mempengaruhi tujuan pelaksanaan tugas-nya resmi atau sebagai, katakanlah, seorang pejabat publik, karyawan, atau profesional.
Sebuah konflik kepentingan bisa eksis dalam beberapa jenis situasi:
  • Dengan pejabat publik yang kepentingan pribadi bertentangan dengan jabatannya profesionalnya.
  • Dengan karyawan yang bekerja untuk satu perusahaan tetapi yang mungkin memiliki kepentingan pribadi yang bersaing dengan kerjanya.
  • Dengan orang yang memiliki posisi otoritas dalam satu organisasi yang bertentangan dengan kepentingan-nya dalam organisasi lain.
  • Dengan orang yang memiliki tanggung jawab yang saling bertentangan.
Tidak hanya itu ada hal-hal penting yang kita dapat perhatikan untuk mengetahui konflik berkepentingan ini, antara lain :
1. Konflik berkepentingan nyata dan dapat di bayangkan.
Pada umumnya konflik berasal dari peraturan yang kita gunakan dengan komunitas kita dan untuk alasan tersebut, konflik menjadi bagian nyata dibanding peraturan yang kita buat. Oleh sebab itu sering terlihat nya sebuah konflik sulit untuk dihindari. Dan ada alasan yang masuk akal yang membuat konflik berkepentingan dapat diterima dan tidak harus . Tapi paling tidak khalayak harus diberitahu kondisinya.
Satu masalah yang biasa ada dari sikap media dimana media profesional melihat pontesi dari konflik berkepentingan dapat menarik banyak perhatian yang di jadikan awal dari sebuah pemberitaan.
Media massa adalah sebuah bisnis besar dan tergantung dari banyaknya iklan yang mendukung mereka. Bagian editorial lebih menekankan sisi komersil untuk sehari-harinya. kebanyakan koran dan media penyiaran mengasingkan integritas jurnalistik dari tekanan komersil.
Beberapa organisasi berita juga dimiliki oleh perusahaan yang kesetiaannya lebih ke dasar dibandingkan kebebasan jurnalistik. ABC contohnya, ABC dimiliki oleh Walt Disney Company.
Di dunia media kemungkinan pengunaaan konflik berkepentingan sangat tidak terhingga dan ini menjadi kewajiban pengurus media untuk lebih sensitif kepada masalah etika akibat dari konflik yang ada.

2. Menyadari konflik : pada keadaan tersulit.
Jika kita menghindari konflik atau paling tidak belajar untuk mengikuti mereka,
kita harus mengerti dan belajar untuk apa konflik itu ada. Beberapa orang menjadi tidak sadar akibat dari perbuatan mereka.
Walaupun demikian konflik berkepentingan bisa berasal dari segala macam situasi. Profesionalisme media pada konflik berkepentingan ini terdapat 3 area yang spesifik :
a. Hubungan yang saling bertentangan
Memang sulit untuk memberikan2 hal besar. Sikap dari kepribadian kita tentu saja terbatas, ketika kita ikut serta didalam sebuah konflik yang saling bertentangan. Beberapa contoh hubungan yang saling bertentangan adalah checkbook journalism, personal relationship, dan the journalist as citizen.
b. Partisipasi publik yang bertentangan
Dua sisi dalam jurnalism. Kadang didalam dunia jurnalis ada dua sisi yang saling bertentangan dimana pastisipasi publik kadang tidak sesuai dengan keinginan dari media. Hal ini tentu saja membuat media dihadapkan pada suatu kondisi yang bertentangan dimana di satu sisi mereka harus mendapatkan partisipasi publik tapi di satu sisi juga mereka harus mendapat kan berita yang bisa menimbulkan partisipasi publik yang sesuai keinginan mereka.
c. Kepentingan pribadi dan maksud tersembunyi
Konflik yang ada antara profesionalisme media dan kepentingan pribadi dengan maksud tersembunyi terkadang menimbulkan banyak pertanyaan. Tidak beruntung nya kepentingan pribadi dan maksud tersembunyi didalam sebuah media profesional tidak akan terjadi pada sebuah organisasi berita yang editornya dapat memilih dan menggunakan kedua hal ini secara tepat dan sesuai.

3. Pendekatan untuk menangani konflik yang berkepentingan.
Biasanya, tidak menghilangkan masalah dan menjelaskan masalah yang ada bisa menjadi salah satu penanganan konflik ini.
Terdapat 3 hal yang di ikuti dan bisa berubah menjadi petunjuk moral dan dijadikan standart dari sebuah proses moral.
Pertama, tentu saja tujuan dari penyelesaian konflik harus dihindari dari konflik pribadi seperti ke profesionalan media dalam membuat berita.
Kedua, jika konflik tidak bisa di antisipasi, untuk mengatasi sebuah dilema, walaupun faktanya telah ada. Misal kantor penerbit koran tidak bisa menangani masalah yang timbul didalam perusahaan nya yang bisa dijadikan sebuah pemberitaan tetapi jika koran tersebut menutup nutupi cerita sebenarnya, mereka harus menganggap diri mereka terhindar dari konflik berkepentingan.
Ketiga, jika konflik kepentingan tidak bisa dihindari, ini harus di beritahu kepada publik atau klien.

4. Konflik kepentingan : studi kasus
Terdapat beberapa kasus mengenai konflik kepentingan. Misalnya PR practitioner yang menjadi aktivis politik, tes DNA : media memanggil hakim dalam kasus kematian warga kulit hitam di amerika. Kemudian kasus gen atau warna kulit di amerika.

REAL

Conflict of Interest Penegakan Hukum di Indonesia

Komitmen Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak hanya didengungkan dalam ruang legalistik positivistik semata. Tidak hanya dikurung dalam konstitusi seperti postulasi di awal tulisan ini, namun dapat dibuktikan secara aktual dan faktual. Akan tetapi negara hukum Indonesia akan terbayar murah dan status negara hukumnya terancam dengan melihat adanya praktik- praktik penegakan hukum belakangan ini. Konsep the rule of law yang diimplementasikan oleh aparatur hukum dari kepolisian hingga lembaga peradilan dan bahkan komisi dan satgas sekalipun luput dari cita-cita penegakan hukum yang independen, imparsial, dan bebas dari intervensi kekuasaan maupun politik. Kondisi tersebut terjadi lantaran campur tangan politik (partai politik dan politisi) dalam aktivitas penegakan hukum. Hal inilah yang kemungkinan menjadi pintu masuk robohnya negara hukum Indonesia yang kemungkinan akan terdegradasi oleh negara kekuasaan sentralis (machstaat) jika tetap dipertahankan. Negara hukum pun dipertanyakan.

Campur Tangan Politik
Di samping adanya faktor-faktor kriminogen terkait dengan terjadinya infiltrasi antara hukum dan politik belakangan ini, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran dan karakteristik kepemimpinan. Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini. ICW mencatat ada 10 kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat.
Tidak terimplementasikannya penegakan hukum secara independen, tentu tidak hanya karena masalah sikap aparatur (attitudinal problem) namun juga karena intervensi politik, yang keduanya bersinergi secara simultan. Ketua KPK pun mengakui proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik (Republika, Rabu, 27 Juli 2001). Beberapa kasus extra ordinary crime yang mampir di KPK mayoritas dipengaruhi oleh konfigurasi politik, misalnya ditelantarkannya kasus Bank Century yang sampai saat ini tidak mendapatkan kepastian hukum dan hanya mentah di DPR. Dalam hal tersebut jelas dan tentu dimenangkan oleh partai-partai yang berkepentingan dengan keberadaan eksekutif saat ini. Dalam kasus Bank Century berpotensi menyeret para pemilik kursi eksekutif, seperti mundurnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan lantaran terseret dalam kasus ini.
Adapun kasus lain yang kini tengah mendapat sorotan publik yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, yakni terkait dugaan korupsi dalam program pembangunan wisma atlet SEA Games dan tenaga kependidikan, Kemendiknas. Dalam kasus ini konon kader Partai Demokrat tersebut telah menyumbang Rp 13 miliar ke Partai Demokrat, dan dalam pengakuannya Nazaruddin diperintahkan untuk lari ke luar negeri oleh pimpinan umum Partai Demokrat agar tidak terjamah oleh hukum. Meskipun belum bisa dipastikan semua, pengakuan Nazaruddin di beberapa media massa adalah benar, patut untuk diduga bahwa telah terjadi campur tangan politik dalam aktivitas penegakan hukum di Indonesia. Dan masih ada beberapa kasus yang kemungkinan melibatkan beberapa kader partai politik termasuk Andi Nurpati dari Demokrat dalam kasus mafia pemilu, Agusrin Najamudin, Gubernur Lampung yang dalam kasusnya divonis bebas oleh hakim Syarifudin Umar. Nunun Nurbaetie tersangka suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI yang hingga saat ini masih melancong ke luar negeri.

POTENSIAL

Penunjukan KSAD Sebuah Teladan Good Governance?

Penunjukan KSAD yang baru kemungkinan besar akan menimbulkan pertanyaan sejauh mana pengaruhnya terhadap good governance negara ini, resiko terjadinya conflict of interest dan resiko menurunnya kepercayaan terutama dari golongan terdidik dan jenjang karir perwira di bawahnya.
Dalam pengelolaan perusahaan modern, adanya hubungan antara seorang staf dengan familinya yang berkaitan dengan pekerjaan harus dideklarasikan dengan transparan. Kemungkinan terjadinya conflict of interest diwajibkan untuk diasses dan didokumentasikan secara tertulis dan transparan dengan pernyataan bahwa ybs tidak akan menimbulkan gangguan terhadap good governance.
Dalam pengelolaan negara, mestinya hal itu lebih penting lagi, metodenya tidak boleh kalah. Rakyat harus diberitahukan mengenai ada atau tidaknya potensi conflict of interest ini dan bagaimana upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk mencegah terjadinya. Assessment yang dilakukan harus ditambah untuk mencakup aspek budaya, etika, kepatutan dan aspek psikologi massa. Tidak boleh hanya dengan satu pertimbangan tunggal atas nama profesionalisme tapi melemahkan faktor-faktor yang lain.
Lepas dari praktek perlunya good governance itu, penulis sebenarnya tidak meragukan profesionalitas dan integritas dari calon KSAD yang akan ditunjuk. Selain karena sudah teruji di berbagai penugasan, beliau juga dari sebuah keluarga perwira yang di jaman dulu mempunyai warisan nama harum.

Mengapa Tidak dari Wakil KSAD

Idealnya memang tidak ada potensi conflict of interest sama sekali, dengan cara sebisa mungkin menunjuk personal lain yang sama-sama berkualitas dan profesional. Misalnya mengapa tidak ditunjuk saja yang saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD untuk berpromosi menjadi KSAD yang baru. Kalau pendekatan ini yang diambil, sebenarnya juga sangat logis bahkan akan lebih diapresiasi oleh rakyat. Dan akan menyingkirkan semua potensi kecurigaan/ketidakpuasan dan meniadakan resiko-resiko yang tidak perlu. Apalagi sebenarnya tidak ada resiko buruk bagi negara ini kalau yang menjadi KSAD yang baru adalah personal yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil KSAD.
Sebenarnya lah pada saat seseorang terpilih oleh rakyat untuk memimpin negara ini, dia harus berani untuk tidak terlalu menampilkan keluarga dan relasinya dalam posisi-posisi kunci.
Kalau ditimbang-timbang dan hasil pertimbangan itu ternyata memunculkan resiko kebangsaan dan kepercayaan, seyogianya langkah-langkah yang berpotensi menimbulkan kecurigaan harus bisa dihindari.
Kehidupan berbangsa dalam membangun demokrasi yang sehat berkelanjutan hendaknya menghindari dominasi famili tertentu terhadap banyak sektor kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sebagai contoh, jangan sampai anggota-anggota sebuah famili tertentu menempati posisi mulai dari posisi di kepresidenan, partai, ketentaraan, sampai KADIN dan lain-lain.

Belajar dari Sejarah 1999

Dari sejarah masih segar dalam ingatan kita, masa presiden terdahulu yaitu Soeharto dengan salah satu menantunya yang saat itu memegang posisi kunci sebagai salah satu panglima. Ternyata conflict of interest itu tidak sepenuhnya bisa dihindari, meskipun beberapa orang mungkin masih memperdebatkannya. Ujung-ujungnya, konon pada saat itu publik menangkap adanya disharmoni antara mereka berdua dan konon juga menimbulkan kebingungan di antara rakyat dan pejabat tinggi, yaitu pada saat negara dalam keadaan sulit (ingat peristiwa tahun 1998 - 1999).
Padahal di jaman Pak Harto, posisi jabatan ketentaraan tertinggi yang ditempati oleh familinya baru setingkat panglima komando, yaitu Kopassus dan Kostrad. Belum ada yang sampai posisi kepala staf angkatan.
Melihat lebih jauh lagi ke belakang, kita masih ingat pada saat Pak Harto mulai memberikan bisnis kepada anak-anaknya. Beberapa dari kita pada saat itu menganggap hal itu wajar-wajar saja. Beberapa orang mengatakan “masak anak-anak presiden tidak boleh berbisnis …….  kalau mereka memang mampu, mengapa tidak”. Namun tidak berapa lama kemudian kita semuanya mencatat dalam ingatan kita, anak-anak beliau mendominasi bisnis-bisnis besar di negara ini.

Bisa Saja Menjadi Contoh yang Diterapkan Kurang Baik

Dengan penunjukan KSAD yang baru sekarang ini, publik kemungkinan akan menjadikan proses penunjukan itu sebagai salah satu contoh yang bisa saja diterapkan secara kurang baik. Dalam arti, penunjukan pejabat atau posisi-posisi penting hanya perlu justifikasi untuk tidak harus menghindari potensi conflict of interest, baik itu dalam pengelolaan perusahaan maupun dalam pemerintahan.
Kita punya peribahasa (mohon maaf) “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, untuk mewanti-wanti siapa pun yang menjadi pemimpin hendaknya ekstra hati-hati karena orang-orang yang dipimpinnya akan mengikuti dengan skala yang mungkin lebih besar dan lebih luas. Kita semua harus eling dengan nilai-nilai kearifan ini.
Jangan sampai nantinya pejabat-pejabat di tingkat yang lebih rendah menempatkan para familinya pada posisi-posisi penting dengan justifikasi profesionalisme.

Kesimpulan

Untuk negara kita yang belum matang dalam good governance, dan dengan adanya contoh sejarah yang belum begitu lama berselang, penunjukan famili untuk posisi high profile / posisi kunci semestinya secara bijaksana dihindari saja.
Tidak kurang banyak posisi-posisi lain yang tidak kalah baiknya untuk ditempati oleh famili-famili yang berbakat, profesional dan berintegritas tanpa harus membuka kemungkinan resiko yang tidak perlu terhadap prinsip-prinsip keadilan, kepatutan, psikologi massa, trust building , good governance dan kepentingan bangsa yang lebih luas.

IMAGINER

Mengapa Tim Independen Perlu?

Epik pertarungan ”cicak melawan buaya” tiba pada titik yang mengaduk-aduk emosi masyarakat luas dengan ditahannya Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah oleh Polri pada hari Kamis (29/10).
Penjelasan Presiden dan Kepala Polri pada hari Jumat (30/10) kelihatannya tidak mampu meredam gejolak tersebut —bila tidak hendak dikatakan justru menuai kekecewaan masyarakat. Praktis berakhir sudah masa ”bulan madu” 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid 2.
Banyak pihak di kalangan masyarakat sipil berpendapat bahwa bola kini berada di tangan Presiden SBY, dan di situlah titik kekecewaan mereka, sebab Presiden bersiteguh tidak mau mengintervensi proses hukum yang tengah berlangsung. Di sinilah tidak terdapat titik temu antara tuntutan masyarakat sipil dan Presiden. Deadlock.
Dalam perspektif tertentu, pendirian Presiden SBY tersebut dapat dimengerti. Presiden memang tak bisa melakukan intervensi atas sebuah proses hukum. Akan tetapi, di sisi lain, Presiden juga tidak boleh alpa bahwa ”keunikan” perkara ini ketimbang perkara-perkara hukum lain seumumnya adalah bahwa kalau bicara proses hukum, secara umum diasumsikan bahwa yang menyelenggarakan proses hukum—kepolisian dan kejaksaan—adalah pihak yang netral dan obyektif karena mereka bukan merupakan pihak yang terlibat dalam perkara yang sedang diproses. Adapun dalam perkara ini, perkaranya melibatkan mereka yang menyelenggarakan proses hukum terhadap perkara itu sendiri. Dengan kata lain, proses hukum ini berlangsung di tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Di sini terjadi conflict of interest.

Buah simalakama

Maka, wajar belaka bila masyarakat sulit bersedia memercayai kredibilitas proses hukum yang sedang berlangsung. Wajar belaka bila mereka berwasangka bahwa sedang berlangsung suatu skenario kriminalisasi KPK, apalagi dengan adanya serangkaian kejanggalan di mata mereka. Di sinilah letak buah simalakama bagi Presiden.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar bagi Presiden adalah membentuk tim independen dugaan kriminalisasi KPK tersebut, yang dapat dibentuk melalui keputusan presiden. Dengan demikian, ia dapat memenuhi desakan agar ia turun tangan sekaligus tidak dianggap memihak atau mengintervensi dalam masalah ini.
Tim tersebut harus beranggotakan orang-orang yang bukan berasal dari Polri, kejaksaan, maupun KPK. Lebih dari itu, mereka haruslah orang-orang yang memiliki kecakapan yang dibutuhkan serta independensi dan integritas yang tinggi. Tugas tim ini adalah melakukan kajian secara komprehensif dan tuntas terhadap dugaan kriminalisasi KPK ini, membuat rekomendasi, lalu melaporkannya kepada presiden dan masyarakat umum.
 Dengan demikian, apa yang dilakukan tim ini selain akan membuat terang perkara ini secara obyektif juga sekaligus akan berfungsi sebagai semacam audit terhadap penanganan Polri dan kejaksaan atas perkara ini. Apakah, misalnya, secara hukum valid apabila polisi menahan orang di antaranya dengan alasan sering menggelar konferensi pers sehingga penyidik merasa terganggu—apa, misalnya, landasannya dalam KUHAP, UU Polri, atau peraturan perundang-undangan lain.
Tentu saja, kedua pimpinan nonaktif KPK itu bukanlah dewa. Mereka juga bisa salah. Akan tetapi, demikian pula sebaliknya, para insan Polri juga bukanlah dewa sehingga pelaksanaan kewenangan mereka, meminjam kata-kata Presiden SBY sendiri ketika bertandang ke kantor harian ini sekitar empat bulan silam, ”must not go unchecked”—dengan kata lain: must not go unaudited.
Tak kurang Presiden SBY sendiri pula yang menyatakan kepolisian harus bisa menjelaskan latar belakang, alasan, serta rujukan hukum tindakannya dalam proses hukum. Justru inilah yang bagi masyarakat terasa absen dan tak kunjung tiba dari pihak Polri. Ini semua perlu walau kita menyadari bahwa proses hukum memang harus berjalan lebih cepat. Hanya saja proses hukum seyogianya mendengar dan menyimak juga hasil kerja tim independen yang meneliti compliance terhadap due process of law.
 Tim independen ini tidak mesti bersifat pro yustisia karena, sayangnya, kita tidak mengenal lembaga special prosecutor dalam sistem hukum kita. Namun, tim ini memberikan laporan dan rekomendasi kepada Presiden dan masyarakat umum. Selanjutnya, Presiden mengambil tindakan berdasarkan laporan dan rekomendasi tersebut. Hanya dengan cara inilah kredibilitas, integritas, dan legitimasi proses hukum perkara ini—dan juga pemerintahan SBY—bisa diselamatkan. Langkah ini adalah langkah yang bijaksana dan akan menjadi graceful exit bagi Presiden dari kemelut ini berikut bola panas yang sedang berada di tangannya. Langkah ini bahkan mungkin akan menjadi graceful exit bagi semua pihak yang terkait dalam gonjang-ganjing ini.

Preseden

Presiden sudah menciptakan preseden semacam itu bagi dirinya ketika membentuk Tim Lima perekomendasi Pelaksana Tugas KPK beberapa waktu lalu. Sebagai anggota Tim Lima, penulis mengalami sendiri tiadanya intervensi atau ”titipan” apa pun dari Presiden SBY terhadap tim tersebut. Presiden menerima baik laporan tim tersebut dan kemudian melaksanakan rekomendasinya. Oleh karena itu, agaknya tidak terdapat alasan bagi Presiden untuk tidak mengulanginya lagi kali ini.
Dalam dunia politik, terdapat semacam ”hukum tak tertulis” yang berbunyi ”bulan madu 100 hari pertama”: selama 100 hari pertama sebuah pemerintahan baru, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah biasanya ”menahan diri” tidak berteriak terlalu keras dahulu guna memberikan kesempatan kepada pemerintah tersebut. Akan tetapi, sungguh sangat patut disayangkan bahwa akibat prahara ini praktis sirna sudah masa bulan madu 100 hari SBY sebelum waktunya.
Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini, suara-suara keras nan lantang yang ditujukan kepada Presiden SBY terkait prahara ini kini telah bergema di mana-mana. ”Hukum tak tertulis” itu ”terpaksa” dilanggar sudah. Oleh karena itu, bila Presiden masih hendak menyelamatkan ”bulan madu”-nya, take action right now: bentuk tim independen pengusut dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK!