Seorang yang merasa diri sebagai cendikiawan mendatangi kota tempat Nasruddin tingggal. Dia bertanya, dengan maksud menguji, siapa orang yang paling pandai di kota ini. Orang-orang mengatakan bahwa Nasruddin adalah orang yang paling pandai.
Lalu cendikiawan itu menemui Nasruddin.
“Wahai Mullah Nasruddin, kata orang-orang, engkau adalah orang paling pandai di kota ini. Oleh karena itu, jawablah 40 pertanyaanku dengan satu jawaban. Kalau kau bisa, berarti kau memang benar-benar pandai.”
Nasruddin mempersilahkan cendikiawan itu mengajukan pertanyaan. Setelah semua petanyaan itu diajukan, Nasruddin menjawab dengan pasti.
“Satu jawaban untuk semua pertanyaan Anda adalah aku tidak tahu!”
Adu kepandaian, apabila bertujuan untuk menjadikan diri kita rendah hati karena ternyata ada orang yang lebih pandai daripada kita, tidaklah masalah. Atau, untuk membungkam dan menghancurkan kesombongan seseorang, itupun boleh-boleh saja. Atau, untuk memacu diri agar kita terus menerus belajar dan menimba ilmu, itu juga baik-baik saja.
Yang tidak baik adalah apabila kita menantang seseorang beradu kepandaian untuk memuaskan nafsu mengalahkan yang tersembunyi dalam hati kita, karena ini akan meninggalkan dendam yang berkepanjangan apabila kita berada di pihak yang kalah. Dan, jika ternyata kita yang keluar sebagai pemenang, kita bisa jumawa. Kita jadi arogan karena merasa tidak ada orang yang lebih hebat daripada kita.
Namun, kadang-kadang, kita beradu kepandaian untuk hal-hal yang tidak berguna sama sekali. Misalnya, hanya untuk mengakui kepandaian seseorang atau seseorang mengakui kepandaian kita. Ini ‘kan konyol namanya. Apa untungnya orang tau kepandaian kita? Dan, apa ruginya kalau kita tidak tahu kepandaian orang?
Nah, Nasruddin tampaknya ingin menghentikan kebiasaan orang yang menantangnya itu dengan cara yang naif. Yaitu dengan mengakui bahwa dia tidak bisa menjawab semua pertanyaan sang penantang dalam satu jawaban. Jawaban Nasruddin itu menunjukkan betapa rendah hatinya dia kepada orang lain. Sebagai “tokoh” yang disegani masyarakat, dia tidak malu mengakui kekurangannya. Namun, dari jawaban itu, kita juga tahu, betapa cerdiknya sang Mullah.
Bisa jadi, Nasruddin bulan tidak tahu jawaban yang sebenarnya untuk pertanyaan lawannya. Akan tetapi, dia merasa apabila pertanyaan lawannya itu dijawab dengan sebenarnya, kesombongan orang itu tetap tidak akan hilang. Dia pasti akan datang lagi membawa pertanyaan-pertanyaan yang lebih konyol dan sulit. Oleh karena itu, dia harus menjawab dengan jawaban yang membuat lawannya kapok dan tidak akan kembali lagi. Mendengar jawaban naif Nasruddin, yang oleh masyarakat-nya diakui sebagai orang paling pandai, tentu orang itu merasa salah alamat. Untuk apa dia datang jauh-jauh kalau hanya untuk mendengar jawaban tolol seperti itu. Itu artinya, perjalanannya sia-sia.
Kepandaian seseorang tidak akan bermanfaat apabila dia tidak bisa memetik hikmah dari kepandaiannya. Sebab biasanya, orang pandai adalah orang yang hidupnya diliputi oleh hikmah. Mungkin, anda masih ingat ketika Luqman Al-Hakim, si Bijak, menasehati anaknya dengan kalimat-kalimat yang indah. Dan, nasehatnya itu diabadikan oleh Allah dalam Al-Quran yang nama surahnya juga merupakan namanya, Surah Luqman.
"Dan, janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan, sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS Luqman [31]: 18-19).
Luqman menasehati anaknya agar jangan menganggap orang lain “kecil” dan tidak ada apa-apanya. Seolah dia berkata,
“Betapapun pandainya kamu, jangan pernah remehkan orang lain. Janganlah ilmu yang kamu miliki menjadikanmu angkuh dan sombong. Ingatlah, iblis diusir dari surga karena kesombongan dan keangkuhannya. Sederhanalah dalam berjalan sehingga orang tidak menganggapmu lemah dan menghinakanmu, atau mereka menganggapmu angkuh sehingga mereka takut kepadamu ... Dan, bertutur katalah dengan lembut, jangan lukai telinga dan hati orang dengan lidah dan suaramu. Jangan seperti keledai, yang ketika ia bersuara, orang merasa terganggu dan mengumpat-ngumpat karenanya!”
Barangkali, penduduk di daerah Nasruddin merasa terganggu dengan “suara” orang yang mengaku cendikiawan itu sehingga mereka merasa perlu membungkam kesombongannya lewat ketololan Nasruddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar